Thursday 18 October 2012

Nyanyian Musa

        Bising suara batu yang terpukul oleh paluku semakin membuat sesak kebebasan jiwa dan ragaku, dan cambuk orang-orang penguasa yang setiap detik merobek kulitku semakin membuat gerah amarahku. Dalam hati ingin aku bunuh mereka dengan belati tajamku, mengoyak jantung mereka dan menginjak-injak hati mereka diatas gurun pasir ini.
      Ya....aku seorang kaum yang didalam kemalanganku menjadi budak kaum penguasa. Dewa atau Allah dari mana yang menyertai mereka? hingga mereka bebas menginjak-injak kebebasan dan harga diri kami?.
          Dan hari ini dalam kelemahanku, teriakan-teriakan kaum penguasa dan cacian mereka membuat amarahku memuncak. Saat cambuk mereka mengenai kulitku untuk sekian kalinya dengan sisa tenagaku aku lemparkan sebongkah batu kearah mereka, sehingga matilah salah satu diantara mereka.
           Mereka marah! ya.... kamu penguasa itu terlihat sangat marah padaku, tanpa berfikir panjang akupun lari dengan sekuat tenagaku. Saat mereka mengejar untuk membunuhku, aku hanya berlari dan memohon keselamatan pada Allahku, lari dan terus lari aku menuju arah dimana tanah Midian berada.
             "Habislah aku.....!"
             Para penguasa itu terus memburuku saat ini, dan tak tau harus lari kemana aku kini?. Nafasku berat dan terengah-engah, padang gurun ini sepertinya menjadi siksaanku yang kedua, dan aku terus berjalan dan berlari diatas pasir yang panas ini.
           Sampailah aku ditanah Midian ini, dimana aku temukan sumber air disini. Aku berhenti sejenak dalam pelarianku, aku puaskan meminum berteguk-teguk air jernih ini.
           Belum puas aku bercengkrama dengan air-air ini aku mendengar deru kaki kuda dari kaum penguasa. Sial....! mereka tak lelahnya mengejarku, dan tidak mengijinkan aku untuk sedetikpun beristirahat.
             Aku masih berlari dan terus berlari dalam kebingungan dan rasa bersalahku telah membunuh kaum penguasa itu. Dan kini aku berlari tanpa tujuan.
             Haus dan lapar menyertai aku dalam pelarianku kini, dan semakin lemahlah langkahku. Kini aku hanya berpasrah, aku hentikan langkahku dan sedikit menarik nafas dalam-dalam. Angin dan debu di gurun ini sangat  besar dan kuat sehingga sesaklah nafasku.
            Dalam kepasrahanku ini samar-samar aku dengar suara alunan seruling yang indah, dengan nyanyian-nyanyian pujian yang megah kepada Allah, sungguh perasaanku menjadi tenang mendengarnya, sehingga berkuranglah rasa lapar dan hausku.
             Bersamaan dengan itu datanglah berpuluh-puluh burung puyuh kecil yang terbang rendah sekali, sehingga mudah bagiku untuk menangkapnya, dan pada pagi hari disekelilingku dipenuhi dengan tepung halus dan bersisik seperti embun beku di bumi, dan tepung ini dapat aku makan! Selain itu tiba-tiba datanglah embun-embun yang keluar dari pasir-pasir ini, seakan mereka muncul sebagai makanan dan minuman bagiku, maka kenyanglah aku!
             Namun perasaan tenangku ini tiba-tiba terkejutkan oleh getaran-getaran pasir yang begitu hebat. Ya....ini adalah getaran langkah kuda para penguasa yang tak lelah mencariku untuk mencincangku!
            "Ya Allahku, tolonglah aku....!" Batinku dalam hati.
           Dalam ketakutanku yang begitu hebat, tanpa berfikir panjang aku berlari dengan sekuat tenagaku, berlari dan tanpa tujuan.
           Namun langkahku terhenti saat ini dalam suatu tempat di Rafidim, tempat ini begitu sunyi dan sangat sunyi, hanya anyir darah yang menusuk hidungku, ya.... bau darah dimana-mana membuat bulu kudukku merinding. Tanah ini telah berubah menjadi merah karena darah, ratusan bahkan ribuan mayat orang-orang Amalek tergeletak tak berdaya, mereka mati....! Aku terus bejalan diantara mayat-mayat ini dan aku dapatkan sebuah mesbah dengan tulisan "Tuhanlah panji-panjiku!"
         Pertanyaan dalam hatiku untuk saat ini, siapakah yang berperang dengan orang-orang Amalek ini, dan mengalahkan mereka dengan mata pedangnya?
          Semakin lama aku berdiam disini, di  tanah Rafidim ini maka semakin takutlah aku.
          Namun ketakutanku terkikis oleh nyanyian pujian kepada Allah dengan alunan seruling bambu yang kembali terdengar di telingaku.
          Nyanyian ini begitu Agung, melodi-melodi pujiannya begitu megah seakan penyairnya berserah diri kepada Allah atas kemenangan terhadap musuhnya.
          Dan entah mengapa kakiku berayun mengikuti melodi-melodi nyanyian itu. Ratusan bahkan ribuan mil kakiku telah menapak bersama nyanyian itu, akan tetapi hanya seperti sejengkal langkah aku merasakannya. 
          Ya.... beban beratku hilang karena perasaan damai dengan nyanyian itu. Nyanyian tentang Allah yang belum pernah aku dengar dalam hidupku, nyanyian tentang kemenangan, kerendah hatian, dan kedamaian.
          Dan aku berfikir dalam pelarianku ini bahwa tujuan pemberhentianku dan rasa bersalahku akan terhenti dalam nyanyian itu.
            Dan sekali lagi Allahku mengabulkannya kepadaku...!!
             Didekat dataran Moab diatas gunung Nebo ini telah aku temukan seorang pria tua yang berdiri diantara ribuan rakyatnya dan bersenandung menyanyikan nyanyiannya . Nyanyian kedamaian yang telah aku dengar dalam kelemahanku, dan nyanyian ini pulalah yang menuntunku menuju kebebasan sejati.
            Pria tua itu terlihat berumur kira-kira seratus dua puluh tahun, namun pandangan matanya yang masih tajam menatap penuh harap dan kedamaian kepada rakyatnya dengan nyanyiannya. Pria tua ini masih terlihat kuat dan wibawa yang besar menyelimutinya.
            Pria tua ini menuntun beribu-ribu rakyatnya menuju tanah Kanaan. dan kini aku tau siapakah pria tua yang menyanyikan lagu-lagu pujian itu.
             Ya....Pria tua itu adalah Musa.

No comments:

Post a Comment